Siapa yang tidak kenal
Bali? Pulau kecil dan indah yang dikenal sebagai Pulau Dewata ini merupakan salah
satu tempat menawan sehingga mampu menarik para wisatawan baik domestik maupun
mancanegara. Kuta, Sanur, Nusa Dua, Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain-lain merupakan tempat-tempat wisata di Bali yang terkenal keelokannya
dan selalu digandrungi para wisatawan. Keindahan panorama alam dan keragaman
kebudayaan menjadi daya tarik tersendiri bagi jutaan wisatawan untuk
mengunjungi Bali. Keramahan masyarakat Bali juga turut menopang berkembangnya
pariwisata di Bali karena mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi para
wisatawan. Keramahan masyarakat Bali dapat dilihat dari sikapnya yang terkenal kuat dengan adat istiadat dan
budaya namun sangat terbuka dan menghargai para pendatang termasuk budaya baru
yang masuk ke Bali.
Semakin dikenalnya Bali
sebagai daerah tujuan wisata menyebabkan hubungan Bali dengan dunia Barat
menjadi semakin intensif. Hubungan yang intensif tersebut berdampak pada
masuknya budaya asing ke dalam berbagai aspek kebudayaan Bali. Interaksi dengan
dunia luar melalui pariwisata tersebut di satu sisi dapat memperkaya khasanah
budaya Bali, namun disisi lain juga memperlemah posisi kebudayaan Bali,
tergantung dari kemampuan untuk menyaring masuknya pengaruh budaya luar. Jadi,
penting bagi seluruh komponen Bali baik masyarakat maupun pemerintah untuk
memiliki filter/penyaring budaya agar masyarakat memilah dan memilih budaya-budaya asing yang
dibawa oleh para wisatawan.
Apakah budaya asing yang
masuk ke Bali sudah terfilter dengan baik ditengah gencarnya pembangunan
pariwisata? Sayangnya, masalah-masalah
pariwisata dan budaya yang mengancam kelestarian budaya dan masyarakat Bali
banyak kita jumpai di Pulau Dewata ini. Berbagai permasalahan tersebut di
antaranya beralihfungsinya lahan pertanian yang berdampak pada punahnya subak yaitu suatu lembaga tradisional
warisan sumberdaya budaya di Bali, menumpuknya sampah yang merusak keasrian
Bali, rusaknya lingkungan, dan pembangunan hotel maupun restoran yang menggangu
kesucian pura. Bahkan untuk bulan juli 2010 lalu, jumlah kasus pelanggaran IMB
di Denpasar mencapai 72 kasus. Hal ini menunjukkan filter budaya belum
diterapkan dengan bagus sehingga pembanguan pariwisata terkesan hanya
memaksimalkan keuntungan dan membebaskan semya budaya asing yang masuk tanpa
mempertimbangkan kelestarian kawasan budaya lokal.
Selain itu, penyalahgunaan
alkohol dan narkoba, maraknya seks bebas, budaya clubbing dan kenakalan remaja juga merupakan masalah yang terjadi
akibat ketidakmampuan masyarakat untuk menyaring budaya luar yang masuk dan
ketidakmampuan untuk mempertahankan kearifan budaya lokal. Padahal kita semua
paham bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut jelas tidak sesuai dengan budaya lokal
Bali yang umumnya religious, santun, dan berkarakter. Namun, rendahnya filter
dan pemahaman budaya mengubah pemikiran mereka menjadi seorang yang buta akan
budaya asing dan meninggalkan budaya
lokal. Dapat pula kita katakana bahwa penerapan multikulturalisme belum baik dan
belum terfilter di Bali. Multikulturalisme itu berarti penerimaan dan
penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun
kebudayaan orang lain (Wikipedia,2012). Multikulturalisme bukan hanya sekedar
aneka budaya, melainkan sebuah kebudayaan baru yang tidak semata-mata mengakui
keragaman ras, budaya, dan bahasa, tetapi satu sama lain hidup secara harmonis
(Ngurah Bagus,2012).Penerapan multikulturalisme di Bali yang tidak diimbangi
dengan filter budaya berdampak pada semakin terkikisnya keaslian budaya Bali
itu sendiri.
Filter budaya yang
diperlukan oleh masyarakat dan pemerintah Bali secara umum tidak jauh berbeda
dengan yang dilakukan para seniman di Bali yaitu para seniman memiliki “cerlang
budaya” untuk memilih budaya asing yang positif sehingga dapat diadopsi untuk
memperkaya wawasan dan khasanah budaya Bali. “cerlang budaya” ini dikenal pula
dengan local genius yang mengacu pada
kemampuan kita sebagai masyarakat yang berbudaya, untuk bisa menyerap budaya
asing tanpa merusak budaya kita sendiri. Kesenian Bali sejak dulu mendapat
pengaruh dari unsur kebudayaan luar seperti China, Belanda dan Mesir. Namun
perpaduan pengaruh luar itu tetap mencerminkan nuansa seni budaya daerah ini. Pengaruh
unsur budaya asing seperti dari China, hingga sekarang tetap melekat pada
kesenian arja. Demikian pula pengaruh dari Mesir dan Belanda juga terlihat
jelas dalam seni ukir bangunan tradisional (Gede Ardika, 2010). Jadi, berkat
keselektifan dan faktor kehati-hatian seniman maupun para leluhur, pengaruh
luar tersebut tidak bertentangan dengan norma serta estetika seni dan budaya
yang dianut masyarakat Pulau Dewata. Bahkan pengaruh luar tersebut
berkontribusi positif terhadap perkembangan kesenian di Bali.
Tri Hita Karana sebagai “cerlang budaya”
Namun, tidak semua
komponen budaya Bali bertindak laksana kesenian Bali yang tetap unggul setelah
mengalami perpaduan dengan budaya asing. Budaya-budaya non-kesenian di Bali
terasa semakin pudar tenggelam oleh budaya asing. Kurangnya penerapan “cerlang
budaya” maupun filter budaya dapat menjadi salah satu penyebabnya. “cerlang budaya” maupun filter budaya dalam
penerapan multikulturalisme perlu diterapkan oleh masyarakat dan pemerintah
menyikapi serbuan budaya asing yang setiap saat siap menumbangkan kebudayaan
Bali. Filter budaya ataupun “cerlang budaya” yang akan digunakan dapat
berpedoman pada konsep Tri Hita Karana
yang meliputi Parahyangan, Pawongan, dan
Palemahan. Falsafah hidup Tri Hita Karana sangat menekankan adanya
keharmonisan da keseimbangan hidup antara manusia dengan manusia, manusia
dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungannya.
Falsafah Tri Hita Karana
memang telah menjadi “cerlang budaya” bagi masyarakat Bali. Hal tersebut
sebernarnya juga sudah diatur dalam azas dan tujuan pariwitasa yang
dikembangkan di Bali yaitu pariwisata budaya yang berpedoman kepada falsafah Tri Hita Karana. Falsafah tersebut
memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan
di tengah hantaman globalisasi dan pengaruh pariwisata. Hanya saja dapat kita
lihat bersama penerapannya masih jauh dari kata maksimal. Faktanya
masalah-masalah pariwisata dan budaya terus menjadi momok yang menarik untuk
diperbincangkan. Untuk itu perlu dibangkitkan kembali penanaman konsep Tri Hita Karana agar fungsinya sebagai
“cerlang budaya” dapat berjalan dengan baik.
Konsep Parahyangan dalam Tri Hita Karana berarti hubungan harmonis antara manusia dengan
Tuhan. Manusia diharuskan untuk menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi
larangannya. Pengamalan konsep Parahyangan
dalam kehidupan melahirkan manusia yang beretika sehingga nantinya lebih
selektif dalam menerima budaya yang masuk ke Bali. Manusia dalam hal ini
masyarakat akan menghindari budaya yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan
seperti mabuk-mabukan, seks bebas, dan lain-lain. Ini berarti bahwa masyarakat
Bali akan senantiasa mempertahankan budaya asli yang memang sesuai dengan
kehidupan masyarakat dan hanya menerima budaya-budaya yang tidak bertentangan
dengan adat dan agama. Kondisi yang demikian merupakan wujud kehidupan
multikulturalisme yang baik.
Namun, dalam realitanya
penerapan dan pemahaman konsep Parahyangan
seakan menipis dalam masyarakat Bali. Lihat saja masyarakat khususnya
generasi muda Bali saat ini banyak yang terlibat kasus kekerasan, geng motor,
terjun ke “dunia malam”, dan seks bebas. Hal tersebut dilarang oleh agama dan
bertentangan dengan konsep Parahyangan Pendidikan
moral agama, penanaman karakter budaya disertai dengan sanksi yang tegas bagi
yang melanggar dapat digunakan sebagai penopang agar konsep Parahyangan dapat maksimal sehingga
generasi muda lebih selektif dan tidak terjerumus ke dalam budaya-budaya asing
yang negaif. Penerapan Parahyangan sebagai
“cerlang budaya” yang maksimal mampu memfilter budaya asing yang masuk dan
kemudian disesuaikan dengan budaya Bali.
Pawongan berarti hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang menjadikan
manusia itu sejahtera. Filter budaya yang berpedoman pada konsep pawongan berarti bahwa setiap budaya
yang masuk dan berkembang ke Bali dipilih yang sesuai agar tidak mengganggu
keharmonisan hubungan manusia baik antara masyarakat Bali, wisatawan, maupun
masyarakat pendatang. Karakter budaya lokal juga dapat dijadikan filter yaitu
masuknya budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan atau pendatang jangan
sampai mengakibatkan lunturnya karakter budaya lokal yang dimiliki masyarakat
lokal Bali. Konsep Pawongan sebagai
“cerlang budaya” juga akan meningkatkan kemampuan masyarakat Bali agar mampu
hidup secara harmonis dengan masyarakat lain sekalipun berbeda agama, ras dan
budaya. Masyarakat akan hidup rukun dan menghindari tindakan-tindakan yang
memicu timbulnya konflik lintas budaya. Agar penerapan Pawongan maksimal perlu didukung dengan peningkatan pemahaman
masyarakat tentang konsep Tat Twam Asi dan
Tri Kaya Parisudha agar masyarakat
menghargai perbedaan, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta senantiasa
berpikir, berkata, maupun berbuat yang baik dan benar.
Konsep yang terakhir dari Tri Hita Karana yaitu Palemahan yang berarti hubungan harmonis
antara manusia dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Disini pemerintah
memiliki peran yang strategis yaitu sebagai pemegang kebijakan perijinan. Pemerintah
harusnya melakukan filter dalam memberikan ijin bagi investor untuk mendirikan
hotel, restoran, distro, bar maupun sarana pariwisata lainnya. Pemerintah dapat
menggunakan konsep palemahan dalam Tri Hita Karana untuk menjaga kawasan
budaya Bali. Pembangunan sarana pariwisata tersebut hendaknya mempertimbangkan
unsur budaya yaitu palemahan asli
Bali baik itu pura atau tempat suci, sawah, pantai, sungai, dan lain-lain.
Pemerintah tidak boleh hanya sekedar mementingkan perekonomian dan pendapatan
dengan mengorbankan keaslian dan keasrian kawasan budaya Bali. Masyarakat juga
harus kritis dalam menanggapi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
terkait perkembangan pariwisata di Bali.
Falsafah Tri Hita Karana
sebagai “cerlang budaya” apabila dijalankan dengan maksimal berarti bahwa Bali
tidak akan leluasa menerima budaya asing yang masuk, tetapi dilakukan pemilihan
secara selektif untuk memastikan bahwa budaya yang masuk tidak bertentangan dengan
falsafah tersebut. Hal ini berarti pula bahwa Bali akan tetap melestarikan
kekayaan budaya lokal agar tidak terkikis oleh budaya asing yang masuk. Logika
tersebut sesuai dengan penerapan multikulturalisme yang baik yaitu mencintai
budaya sendiri dan menghargai budaya asing yang masuk ke Bali serta menjadikan
budaya asing yang masuk tersebut sebagai budaya yang akan memperkaya khasanah
dan wawasan budaya Bali.
Jadi, dapat kita simpulkan
bahwa Tri Hita Karana dapat digunakan
sebagai “cerlang budaya” maupun filter budaya yang cocok diterapkan dalam
kehidupan masyarakat Bali yang padat akan aktivitas pariwisata. Tri Hita Karana sebagai dasar mengatasi
masalah multikulturalisme di Bali. Penerapan filter budaya tersebut haruslah
maksimal agar manfaatnya dapat dirasakan secara nyata dan berbagai masalah yang
muncul dapat teratasi. Peranan pemerintah sangatlah penting terkait pemaksimalan penerapan filter
budaya tersebut yaitu setiap kebijakan terkait budaya yang dikeluarkan
pemerintah harus mempertimbangkan aspek Tri Hita Karana. Pemerintah juga
berkewajiban untuk memberikan pendidikan moral agama dan penanaman karakter kepada
maasyarakat Bali agar masyarakat senantiasa dapat berpartisipasi dalam
melakukan filter budaya demi terjaganya keelokan budaya Bali dan tercipta
hubungan harmonis antar budaya yang ada di Bali.
0 komentar:
Posting Komentar