Selasa, 13 November 2012

TRI HITA KARANA: “CERLANG BUDAYA” UNTUK BALIKU



Siapa yang tidak kenal Bali? Pulau kecil dan indah yang dikenal sebagai Pulau Dewata ini merupakan salah satu tempat menawan sehingga mampu menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Kuta, Sanur, Nusa Dua, Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain-lain merupakan tempat-tempat wisata di Bali yang terkenal keelokannya dan selalu digandrungi para wisatawan.  Keindahan panorama alam dan keragaman kebudayaan menjadi daya tarik tersendiri bagi jutaan wisatawan untuk mengunjungi Bali. Keramahan masyarakat Bali juga turut menopang berkembangnya pariwisata di Bali karena mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi para wisatawan. Keramahan masyarakat Bali dapat dilihat dari sikapnya  yang terkenal kuat dengan adat istiadat dan budaya namun sangat terbuka dan menghargai para pendatang termasuk budaya baru yang masuk ke Bali. 
Semakin dikenalnya Bali sebagai daerah tujuan wisata menyebabkan hubungan Bali dengan dunia Barat menjadi semakin intensif. Hubungan yang intensif tersebut berdampak pada masuknya budaya asing ke dalam berbagai aspek kebudayaan Bali. Interaksi dengan dunia luar melalui pariwisata tersebut di satu sisi dapat memperkaya khasanah budaya Bali, namun disisi lain juga memperlemah posisi kebudayaan Bali, tergantung dari kemampuan untuk  menyaring masuknya pengaruh budaya luar. Jadi, penting bagi seluruh komponen Bali baik masyarakat maupun pemerintah untuk memiliki filter/penyaring budaya agar masyarakat  memilah dan memilih budaya-budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan.
Apakah budaya asing yang masuk ke Bali sudah terfilter dengan baik ditengah gencarnya pembangunan pariwisata?  Sayangnya, masalah-masalah pariwisata dan budaya yang mengancam kelestarian budaya dan masyarakat Bali banyak kita jumpai di Pulau Dewata ini. Berbagai permasalahan tersebut di antaranya beralihfungsinya lahan pertanian yang berdampak pada punahnya subak yaitu suatu lembaga tradisional warisan sumberdaya budaya di Bali, menumpuknya sampah yang merusak keasrian Bali, rusaknya lingkungan, dan pembangunan hotel maupun restoran yang menggangu kesucian pura. Bahkan untuk bulan juli 2010 lalu, jumlah kasus pelanggaran IMB di Denpasar mencapai 72 kasus. Hal ini menunjukkan filter budaya belum diterapkan dengan bagus sehingga pembanguan pariwisata terkesan hanya memaksimalkan keuntungan dan membebaskan semya budaya asing yang masuk tanpa mempertimbangkan kelestarian kawasan budaya lokal.
Selain itu, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, maraknya seks bebas, budaya clubbing dan kenakalan remaja juga merupakan masalah yang terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat untuk menyaring budaya luar yang masuk dan ketidakmampuan untuk mempertahankan kearifan budaya lokal. Padahal kita semua paham bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut jelas tidak sesuai dengan budaya lokal Bali yang umumnya religious, santun, dan berkarakter. Namun, rendahnya filter dan pemahaman budaya mengubah pemikiran mereka menjadi seorang yang buta akan budaya asing dan meninggalkan  budaya lokal. Dapat pula kita katakana bahwa penerapan multikulturalisme belum baik dan belum terfilter di Bali. Multikulturalisme itu berarti penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain (Wikipedia,2012). Multikulturalisme bukan hanya sekedar aneka budaya, melainkan sebuah kebudayaan baru yang tidak semata-mata mengakui keragaman ras, budaya, dan bahasa, tetapi satu sama lain hidup secara harmonis (Ngurah Bagus,2012).Penerapan multikulturalisme di Bali yang tidak diimbangi dengan filter budaya berdampak pada semakin terkikisnya keaslian budaya Bali itu sendiri.
Filter budaya yang diperlukan oleh masyarakat dan pemerintah Bali secara umum tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan para seniman di Bali yaitu para seniman memiliki “cerlang budaya” untuk memilih budaya asing yang positif sehingga dapat diadopsi untuk memperkaya wawasan dan khasanah budaya Bali. “cerlang budaya” ini dikenal pula dengan local genius yang mengacu pada kemampuan kita sebagai masyarakat yang berbudaya, untuk bisa menyerap budaya asing tanpa merusak budaya kita sendiri. Kesenian Bali sejak dulu mendapat pengaruh dari unsur kebudayaan luar seperti China, Belanda dan Mesir. Namun perpaduan pengaruh luar itu tetap mencerminkan nuansa seni budaya daerah ini. Pengaruh unsur budaya asing seperti dari China, hingga sekarang tetap melekat pada kesenian arja. Demikian pula pengaruh dari Mesir dan Belanda juga terlihat jelas dalam seni ukir bangunan tradisional (Gede Ardika, 2010). Jadi, berkat keselektifan dan faktor kehati-hatian seniman maupun para leluhur, pengaruh luar tersebut tidak bertentangan dengan norma serta estetika seni dan budaya yang dianut masyarakat Pulau Dewata. Bahkan pengaruh luar tersebut berkontribusi positif terhadap perkembangan kesenian di Bali.
Tri Hita Karana sebagai “cerlang budaya”
Namun, tidak semua komponen budaya Bali bertindak laksana kesenian Bali yang tetap unggul setelah mengalami perpaduan dengan budaya asing. Budaya-budaya non-kesenian di Bali terasa semakin pudar tenggelam oleh budaya asing. Kurangnya penerapan “cerlang budaya” maupun filter budaya dapat menjadi salah satu penyebabnya.  “cerlang budaya” maupun filter budaya dalam penerapan multikulturalisme perlu diterapkan oleh masyarakat dan pemerintah menyikapi serbuan budaya asing yang setiap saat siap menumbangkan kebudayaan Bali. Filter budaya ataupun “cerlang budaya” yang akan digunakan dapat berpedoman pada konsep Tri Hita Karana yang meliputi Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Falsafah hidup Tri Hita Karana sangat menekankan adanya keharmonisan da keseimbangan hidup antara manusia dengan manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungannya.
Falsafah Tri Hita Karana memang telah menjadi “cerlang budaya” bagi masyarakat Bali. Hal tersebut sebernarnya juga sudah diatur dalam azas dan tujuan pariwitasa yang dikembangkan di Bali yaitu pariwisata budaya yang berpedoman kepada falsafah Tri Hita Karana. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan pengaruh pariwisata. Hanya saja dapat kita lihat bersama penerapannya masih jauh dari kata maksimal. Faktanya masalah-masalah pariwisata dan budaya terus menjadi momok yang menarik untuk diperbincangkan. Untuk itu perlu dibangkitkan kembali penanaman konsep Tri Hita Karana agar fungsinya sebagai “cerlang budaya” dapat berjalan dengan baik.
Konsep Parahyangan dalam Tri Hita Karana berarti hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan. Manusia diharuskan untuk menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. Pengamalan konsep Parahyangan dalam kehidupan melahirkan manusia yang beretika sehingga nantinya lebih selektif dalam menerima budaya yang masuk ke Bali. Manusia dalam hal ini masyarakat akan menghindari budaya yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan seperti mabuk-mabukan, seks bebas, dan lain-lain. Ini berarti bahwa masyarakat Bali akan senantiasa mempertahankan budaya asli yang memang sesuai dengan kehidupan masyarakat dan hanya menerima budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan adat dan agama. Kondisi yang demikian merupakan wujud kehidupan multikulturalisme yang baik.
Namun, dalam realitanya penerapan dan pemahaman konsep Parahyangan seakan menipis dalam masyarakat Bali. Lihat saja masyarakat khususnya generasi muda Bali saat ini banyak yang terlibat kasus kekerasan, geng motor, terjun ke “dunia malam”, dan seks bebas. Hal tersebut dilarang oleh agama dan bertentangan dengan konsep Parahyangan Pendidikan moral agama, penanaman karakter budaya disertai dengan sanksi yang tegas bagi yang melanggar dapat digunakan sebagai penopang agar konsep Parahyangan dapat maksimal sehingga generasi muda lebih selektif dan tidak terjerumus ke dalam budaya-budaya asing yang negaif. Penerapan Parahyangan sebagai “cerlang budaya” yang maksimal mampu memfilter budaya asing yang masuk dan kemudian disesuaikan dengan budaya Bali.
Pawongan berarti hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang menjadikan manusia itu sejahtera. Filter budaya yang berpedoman pada konsep pawongan berarti bahwa setiap budaya yang masuk dan berkembang ke Bali dipilih yang sesuai agar tidak mengganggu keharmonisan hubungan manusia baik antara masyarakat Bali, wisatawan, maupun masyarakat pendatang. Karakter budaya lokal juga dapat dijadikan filter yaitu masuknya budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan atau pendatang jangan sampai mengakibatkan lunturnya karakter budaya lokal yang dimiliki masyarakat lokal Bali. Konsep Pawongan sebagai “cerlang budaya” juga akan meningkatkan kemampuan masyarakat Bali agar mampu hidup secara harmonis dengan masyarakat lain sekalipun berbeda agama, ras dan budaya. Masyarakat akan hidup rukun dan menghindari tindakan-tindakan yang memicu timbulnya konflik lintas budaya. Agar penerapan Pawongan maksimal perlu didukung dengan peningkatan pemahaman masyarakat tentang konsep Tat Twam Asi dan Tri Kaya Parisudha agar masyarakat menghargai perbedaan, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta senantiasa berpikir, berkata, maupun berbuat yang baik dan benar.
Konsep yang terakhir dari Tri Hita Karana yaitu Palemahan yang berarti hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Disini pemerintah memiliki peran yang strategis yaitu sebagai pemegang kebijakan perijinan. Pemerintah harusnya melakukan filter dalam memberikan ijin bagi investor untuk mendirikan hotel, restoran, distro, bar maupun sarana pariwisata lainnya. Pemerintah dapat menggunakan konsep palemahan dalam Tri Hita Karana untuk menjaga kawasan budaya Bali. Pembangunan sarana pariwisata tersebut hendaknya mempertimbangkan unsur budaya yaitu palemahan asli Bali baik itu pura atau tempat suci, sawah, pantai, sungai, dan lain-lain. Pemerintah tidak boleh hanya sekedar mementingkan perekonomian dan pendapatan dengan mengorbankan keaslian dan keasrian kawasan budaya Bali. Masyarakat juga harus kritis dalam menanggapi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait perkembangan pariwisata di Bali.
Falsafah Tri Hita Karana sebagai “cerlang budaya” apabila dijalankan dengan maksimal berarti bahwa Bali tidak akan leluasa menerima budaya asing yang masuk, tetapi dilakukan pemilihan secara selektif untuk memastikan bahwa budaya yang masuk tidak bertentangan dengan falsafah tersebut. Hal ini berarti pula bahwa Bali akan tetap melestarikan kekayaan budaya lokal agar tidak terkikis oleh budaya asing yang masuk. Logika tersebut sesuai dengan penerapan multikulturalisme yang baik yaitu mencintai budaya sendiri dan menghargai budaya asing yang masuk ke Bali serta menjadikan budaya asing yang masuk tersebut sebagai budaya yang akan memperkaya khasanah dan wawasan budaya Bali.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa Tri Hita Karana dapat digunakan sebagai “cerlang budaya” maupun filter budaya yang cocok diterapkan dalam kehidupan masyarakat Bali yang padat akan aktivitas pariwisata. Tri Hita Karana sebagai dasar mengatasi masalah multikulturalisme di Bali. Penerapan filter budaya tersebut haruslah maksimal agar manfaatnya dapat dirasakan secara nyata dan berbagai masalah yang muncul dapat teratasi. Peranan pemerintah sangatlah  penting terkait pemaksimalan penerapan filter budaya tersebut yaitu setiap kebijakan terkait budaya yang dikeluarkan pemerintah harus mempertimbangkan aspek Tri Hita Karana. Pemerintah juga berkewajiban untuk memberikan pendidikan moral agama dan penanaman karakter kepada maasyarakat Bali agar masyarakat senantiasa dapat berpartisipasi dalam melakukan filter budaya demi terjaganya keelokan budaya Bali dan tercipta hubungan harmonis antar budaya yang ada di Bali.

0 komentar:

Posting Komentar