Senin, 30 Juli 2012

“COMPULSORY EDUCATION” SOLUSI PEMERATAAN PENDIDIKAN INDONESIA




Pendidikan merupakan faktor penting yang memengaruhi perkembangan suatu negara baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun hukum. Tingkat dan kualitas pendidikan sangat menentukan arah pertumbuhan semua bangsa termasuk bangsa Indonesia. Namun, pada kenyataannya dapat kita lihat bahwa sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang belum mendapatkan haknya mengenyam bangku pendidikan dasar apa lagi akses perguruan tinggi. Belum lagi ketimpangan antar daerah yang terjadi di Indonesia. Daerah-daerah terbelakang dan belum mendapatkan akses infrastruktur dasar masih tersebar diberbagai pelosok daerah. Tentunya hal ini menyulitkan untuk mewujudkan tujuan pemerataan pendidikan yang telah Indonesia sepakati. Padahal Target Millenium Development Goals (MDGs) adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan mampu memperoleh pendidikan dasar yang lengkap.
Pemerintah memang telah mencanangkan berbagai program guna menyamaratakan pendidikan di Indonesia. Program wajib belajar (wajar) 9 tahun telah dicanangkan sejak tahun 1994 dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tanggal 2 Mei 1994. Ini merupakan kelanjutan dari program wajar 6 tahun yang ditetapkan pada 2 Mei 1984. Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar tidak hanya ditempuh melalui sekolah(pendidikan formal), tetapi juga dapat melalui pendidikan nonformal yaitu Program KejarPaket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP yang hasilnya dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sayangnya, solusi berupa program-program yang telah dicetuskan oleh pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia yaitu tidak meratanya pendidikan di Indonesia. Pada kenyataannya, perjalanan wajib belajar di Indonesia masih belum maksimal. Sebab, ternyata masih terdapat siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP sekitar 768.960 orang, terdiri atas 527.850 siswa SD dan 241.110 siswa SMP. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa. Mereka putus sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain itu, sekitar 920.000 lulusan SD tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP dengan beragam alasan. Adapun lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat lebih banyak lagi, yakni sekitar 30,1 persen atau sekitar 1,26 juta siswa (Fajar, 2011).
Melihat kondisi tersebut diperlukan gagasan baru untuk menanggulangi permasalahan tersebut sehingga mengoptimalkan penerapan program wajib belajar Sembilan tahun dan mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia. Gagasannya adalah dengan penerapan konsep “compulsory education” oleh pemerintah dalam pendidikan di Indonesia.  Konsep “compulsory education”, adalah konsep pendidikan wajib belajar yang sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya terhadap program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun peserta didik (Asrony, 2011).
Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai saat ini masih memberlakukan konsep “universal basic education” artinya, program wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990 menegaskan compulsory education bukan universal education. Wajib belajar (compulsory education) terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.

Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya unsur paksaan agar peserta didik bersekolah, (2) diatur  dengan undang-undang tentang wajib belajar, (3) ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah, dan (4) tolok ukur keberhasilan Wajar adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah(Fajar, 2011). Dengan adanya peraturan ini, maka kewajiban orang tua adalah memberikan pendidikan kepada putra-putrinya baik di sekolah maupun jika dia tidak mau, pendidikan di rumah pun (home schooling) bisa ditempuh. Berbeda dengan Wajib Belajar di Indonesia dicirikan: (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) tidak ada sanksi hukum, sekedar sanksi moral, (3) tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan.
Pemerintah dan masyarakat terkesan tidak serius menangani pendidikan karena berbagai program pemerintah hanya sebatas himbuan,. Maka dari itulah, Indonesia perlu meniru konsep pendidikan compulsory education yang umumnya diterapkan di negara maju sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan di Indonesia. Selain itu UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas memungkinkan pemerintah Indonesia menerapkan konsep compulsory education karena seperti tertuang dalam pasal 1 ayat 18 bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan hal tersebut pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sehingga pemerintah berhak untuk mewajibkan masyarakat sekolah dan menyekolahkan anaknya minimal sampai pendidikan dasar sembilan tahun serta memberikan sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya. Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab terhadap semua kendala atas terselenggaranya compulsory education serta memberikan solusi dari kendala tersebut.
Penerapan konsep pendidikan compulsory education memang menghadapi tantangan yang besar seperti kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia dan rendahnya pendapatan sebagian masyarakat Indonesia sehingga beban pendidikan menjadi beban bagi orang tua. Masyarakat tidak mau sekolah atau tidak menyekolahkan anak-anaknya karena merasa tidak mampu untuk membayar atau membiayai pendidikan anak-anaknya. Hal ini berimbas pada rendahnya minat orang tua terutama orang tua yang kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya. Mereka lebih memilih untuk meminta anaknya bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Solusi untuk masalah ini adalah pemerintah harus menyediakan sekolah gratis untuk pendidikan dasar gratis dan beasiswa serta mengoptimalkan realisasi dari sekolah gratis dan beasiswa tersebut. 
Sumber pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat. Pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Partisipasi masyarakat dan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk memajukan pendidikan sangat diperlukan.Keinginan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu bisa diupayakan secara konkrit melalui dukungan masyarakat pula. Untuk itu perlu digali sumber daya masyarakat.Masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi pihak yang menuntut pendidikan yang bermutu,tetapi juga berperan serta memberikan masukan pikiran, tenaga dan biaya bagi kemajuan pendidikan.
Penerapan konsep pendidikan compulsory education dengan diimbangi perbaikan komponen pendidikan sangat tepat dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi terkait dengan program wajib belajar sembilan tahun dalam upaya optimalisasi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan di Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 guna melahirkan generasi muda yang lebih baik di masa depan.
Oleh : Ni Putu Desy Ratna Dewi
( Mahasiswa S1 Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

0 komentar:

Posting Komentar