Pendidikan merupakan faktor penting yang memengaruhi
perkembangan suatu negara baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya,
maupun hukum. Tingkat dan kualitas pendidikan sangat menentukan arah
pertumbuhan semua bangsa termasuk bangsa Indonesia. Namun, pada kenyataannya
dapat kita lihat bahwa sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang belum
mendapatkan haknya mengenyam bangku pendidikan dasar apa lagi akses perguruan
tinggi. Belum lagi ketimpangan antar daerah yang terjadi di Indonesia.
Daerah-daerah terbelakang dan belum mendapatkan akses infrastruktur dasar masih
tersebar diberbagai pelosok daerah. Tentunya hal ini menyulitkan untuk
mewujudkan tujuan pemerataan pendidikan yang telah Indonesia sepakati. Padahal
Target Millenium Development Goals (MDGs) adalah menjamin bahwa sampai dengan
2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan mampu memperoleh
pendidikan dasar yang lengkap.
Pemerintah memang telah
mencanangkan berbagai program guna menyamaratakan pendidikan di Indonesia.
Program wajib belajar (wajar) 9 tahun telah dicanangkan sejak tahun 1994 dengan
Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tanggal 2 Mei 1994. Ini merupakan kelanjutan
dari program wajar 6 tahun yang ditetapkan pada 2 Mei 1984. Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar tidak
hanya ditempuh melalui sekolah(pendidikan formal), tetapi juga dapat melalui
pendidikan nonformal yaitu Program KejarPaket A setara SD dan Kejar Paket B
setara SLTP yang hasilnya dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan
formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan. Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa
seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi upaya yang telah dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sayangnya, solusi berupa program-program yang telah
dicetuskan oleh pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah pendidikan di
Indonesia yaitu tidak meratanya pendidikan di Indonesia. Pada kenyataannya,
perjalanan wajib belajar di Indonesia masih belum maksimal. Sebab, ternyata
masih terdapat siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP sekitar 768.960
orang, terdiri atas 527.850 siswa SD dan 241.110 siswa SMP. Berdasarkan data
Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta
siswa. Mereka putus sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain itu,
sekitar 920.000 lulusan SD tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP dengan
beragam alasan. Adapun lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA
sederajat lebih banyak lagi, yakni sekitar 30,1 persen atau sekitar 1,26 juta
siswa (Fajar, 2011).
Melihat kondisi tersebut diperlukan gagasan baru
untuk menanggulangi permasalahan tersebut sehingga mengoptimalkan penerapan
program wajib belajar Sembilan tahun dan mewujudkan pemerataan pendidikan di
Indonesia. Gagasannya adalah dengan penerapan konsep “compulsory education”
oleh pemerintah dalam pendidikan di Indonesia.
Konsep “compulsory education”, adalah konsep pendidikan wajib
belajar yang sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya
terhadap program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah daerah, orangtua,
maupun peserta didik (Asrony, 2011).
Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai saat ini
masih memberlakukan konsep “universal basic education” artinya, program
wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Declaration
on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990 menegaskan compulsory
education bukan universal education. Wajib belajar (compulsory education) terutama
berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab
negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar
sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan
bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Dalam pengertian negara maju, compulsory education
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya unsur paksaan agar peserta
didik bersekolah, (2) diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar,
(3) ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah, dan (4)
tolok ukur keberhasilan Wajar adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi
karena telah mendorong anaknya bersekolah(Fajar, 2011). Dengan adanya peraturan ini,
maka kewajiban orang tua adalah memberikan pendidikan kepada putra-putrinya
baik di sekolah maupun jika dia tidak mau, pendidikan di rumah pun (home
schooling) bisa ditempuh.
Berbeda
dengan Wajib Belajar di Indonesia dicirikan: (1) tidak bersifat
paksaan melainkan persuasif, (2) tidak ada sanksi
hukum, sekedar sanksi moral, (3) tidak diatur
dalam undang-undang tersendiri, (4) keberhasilan
diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan.
Pemerintah dan masyarakat terkesan tidak serius
menangani pendidikan karena berbagai program pemerintah hanya sebatas himbuan,.
Maka dari itulah, Indonesia perlu meniru konsep pendidikan compulsory
education yang umumnya diterapkan
di negara maju sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menangani masalah
pendidikan di Indonesia. Selain itu UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas memungkinkan
pemerintah Indonesia menerapkan konsep compulsory education karena
seperti tertuang dalam pasal 1 ayat 18 bahwa wajib belajar adalah program
pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung
jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan hal tersebut pendidikan
merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sehingga pemerintah
berhak untuk mewajibkan masyarakat sekolah dan menyekolahkan anaknya minimal
sampai pendidikan dasar sembilan tahun serta memberikan sanksi bagi masyarakat
yang melanggarnya. Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab terhadap semua
kendala atas terselenggaranya compulsory education serta memberikan
solusi dari kendala tersebut.
Penerapan konsep pendidikan compulsory education memang menghadapi tantangan yang besar
seperti kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia dan rendahnya pendapatan
sebagian masyarakat Indonesia sehingga beban pendidikan menjadi beban bagi
orang tua. Masyarakat tidak mau sekolah atau tidak
menyekolahkan anak-anaknya karena merasa tidak mampu untuk membayar atau
membiayai pendidikan anak-anaknya. Hal ini berimbas pada rendahnya minat orang tua
terutama orang tua yang kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya. Mereka lebih
memilih untuk meminta anaknya bekerja demi membantu perekonomian keluarga.
Solusi untuk masalah ini adalah pemerintah harus menyediakan sekolah gratis
untuk pendidikan dasar gratis dan beasiswa serta mengoptimalkan realisasi dari
sekolah gratis dan beasiswa tersebut.
Sumber pembiayaan pendidikan
dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada
kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya
pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai
pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat. Pemerintah
daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data
lapangan. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan
sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib
belajar. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu
kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan Masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Partisipasi masyarakat dan keluarga sebagai unit terkecil dalam
masyarakat untuk memajukan pendidikan sangat diperlukan.Keinginan masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu bisa diupayakan secara konkrit
melalui dukungan masyarakat pula. Untuk itu perlu digali sumber daya
masyarakat.Masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi pihak yang menuntut
pendidikan yang bermutu,tetapi juga berperan serta memberikan masukan pikiran,
tenaga dan biaya bagi kemajuan pendidikan.
Penerapan konsep
pendidikan compulsory education dengan diimbangi perbaikan komponen
pendidikan sangat tepat dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi terkait
dengan program wajib belajar sembilan tahun dalam upaya optimalisasi pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan di Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan
dalam UUD 1945 guna melahirkan generasi muda yang lebih baik di masa depan.
Oleh : Ni Putu
Desy Ratna Dewi
( Mahasiswa S1 Akuntansi, Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana
0 komentar:
Posting Komentar